Sabtu, 30 Agustus 2008

puisi 4

Narasi Kebugilan Sejati II
(Buat: Kekasihku yang kehilangan keperawanannya)

melalui langkah-langkah abstrak pada bebatuan
yang membisu
kembali engkau kirimkan kabar hari esok
dengan kesadaran berlimpah dan aura
ringkih pembagian narasiku

yang katamu: “airmataku telah dirampok”
“kemaluanku telah dijarah”
“kebebasanku telah disahaya”

aku meyakininya sebagai perpaduan antara pilu dan sepi
purna berbentuk sembilu
penuh sayatan

engkau juga tuliskan teriakan yang dibungkus dalam kartu kematian
namun aku bisa apa jika pesta darah
hanya dihadiri tiga helai kafan dan sebidang tanah?



(In Memorian 23 Januari 2005: 23.45 WITA)



REQUIEM
(Postcard buat lelaki pasca tsunami)


/1/
telah ditemukan duka-duka rima berserakan pada kumpulan
kata, sajak hingga antologi di sepanjang diam
pun telah disaksikan segala desau tersendat bunyinya
melengking, menyematkan gelengan ilalang yang gagal mencumbu rembulan

/2/
tak perlu mengupas luka dalam kepenatan buluh makna
karena selepas hujan pasti kamu temukan pelangi
bukankah menatap hari lebih mudah ketimbang berlari?

/3/
di penghujung hidup
kita belum pernah bersama mengitung angka-angka pemberat
karena catut yang kita pakai hanya sekadar jemuran asmara di tiang petaka
adakah saat yang bisa kita tebus?

/4/
malampun berjalan dengan meteor berjuta tahun
mengikuti larik kekaguman
pada peraduan katub pesona yang ditebarkan kiblat rindu-rindu

/5/
kalimat bukan sekadar madah puisi
karena di dalamnya juga terdapat kesaksian duka-duka rima yang terangkum dalam antologi diam
gerimis lelaki menandakan ketidakkuasaannya berpeluk dengan takdir



Banjarbaru, 26 Desember 2005



SEMPANA JIWA BAB TERAKHIR


Aku sudah susah membuktikan betapa ternilainya senandung sempana jiwa di bab terakhirku. Ya. Itulah adanya.
Aku tahu tapi kejanggalan akan cermin yang kulihat kemarin tidak menimbulkan bayangan, aku hanya melihat sinar yang lelambaiannya tak nampak. Pekat pula. Sementara aku baru mempersiapkan diri untuk juga ikut pada peperangan yang salah satu pemrakasa serta pengrobohnya, aku.
Sementara aku berkecamuk dalam diri, sekitar baik kawanan menuding sebagai insan yang naïf. Aku betul-betul aku. Hingga aku kehilangan bentuk, remuk di situ juga. Redamnya utopia di mukaku adalah berkat kesetiaanku yang selalu menyerukan senandung jiwa di bab terakhir.
Sungguh aku malu. Maka dengan ini semua aku akan buktikan, aku akan menjauhi apa-apa yang membikin hubungan kita merenggang. Sekali lagi. Karena itulah adanya. Aku begitu memilukan, sebab jiwa yang pernah kujalankan pernah memaksakan ribuan hasrat untuk menikam dan ke langkah itu lagi. Aku pura-pura lupa dan tidak mengetahuinya bahwa suatu saat akan ada balasan dari seluruh torehan yang dieja pada sempana-sempana dari jiwa yang tak berkeseduhan.


Banjarbaru, 12 Juni 2005



MENEPIS KEMBALI BIANGLALA HARI SABTU


Hari sabtu kemarin aku menjenguk langit
kabarnya ia sudah tidak tahan lagi, menepis jiwa
katanya dua hari lagi pelangi akan turut serta
dalam upacara malam.

Hari jumat kemarin aku menjenguk Arsy
kelihatannya tempat itu sudah usang, tak layak huni
di atasnya ada tujuh lubang yang bisa di tembus hujan dan
di bawahnya ada tujuh ubin yang jika di injak akan
menjatuhkan raga ke jurangnya.

Hari minggu kemarin aku melihat ayah membuat jembatan,
aku diam
bukankah menyambung jalan kehidupan itu cukup sulit
ketimbang tafakur di senandung senja?

Hari jumat kemarin aku duduk di pelatar gereja,
membuka catatan yang pernah aku saksikan bersama
kebisuan akal
pembatas mimpi di pelupuk basah airmata kembang.

Hari sabtu kemarin aku menagih rindu yang pernah dijanjikan
malam, katanya hakikat luka adalah bara
dia juga kembali mengulang janji untuk menikam melodi
hari dan diganti dengan tembang rama-rama
kutengok awan, seperti biasa berlarian
menyombongkan keangkuhannya. Seperti.


Banjarmasin, 22 Desember 2005



Yth. Aceh-Sumatera Utara

Yth. Aceh-Sumetera Utara
yang dihempas gelombang airmata
dari pantai dan dalamnya laut airmata

Yth. Aceh-Sumatera Utara
yang kehilangan penglihatannya untuk mentari pagi
karena yang dipandangnya hanya kekaburan dari lirih pembacaan ayat-ayat kematian

Yth. Aceh-Sumatera Utara
kusaksikan lautan darah yang bermuara pada kepedihan tiada batas
menghempas tubuhmu ke bawah timbunan rumah-rumah kubangan oase penindih azalmu
olehmulah amukan alam
merangkum gelora hasrat perut bumi yang membuncah
menahan segenap amarah penghancuran
hingga menikam segenap cerita suka cita
torehan pena sejarah dunia di tahun 2004

Yth. Aceh-Sumatera Utara
lagi, kusaksikan gemuruh ombak yang menghantam
kekalutan dan kengiluan di sepanjang perjalanan
menuju detik-detik sakaratul maut
oleh langkah-langkah yang tak kuasa
berlindung menghembuskan satu-satu nafas penghabisan

Yth. Aceh-Sumatera Utara
lagi-lagi, kusaksikan kekuasaan Tuhan Yang Maha Semau-maunya
melantakkan bumimu hingga porak-poranda
hingga banjir airmata, airmata darah meluap-luap di seluruh sudut-sudut perkampungan
yang juga ikut hanyut oleh geliat air kematian

Yth. Aceh-Sumatera Utara
dengan ini, aku sampaikan bahwa
aku tak lagi melihat kebersamaan di waktu itu
ketika menutup hari dengan kepekatan
juga kemanisan dewi kelam
karena ia telah juga luluh bersama tangisanmu yang bercampur nanah dan aroma darah

Wahai Yth. Aceh-Sumatera Utara
aku tak lagi dapat menghitung angka-angka karena hitunganku hanya terarah pada korban-korban luka di tanahmu yang tak berkesudahan
akupun tak lagi dapat membaca karena semua kalimat
yang tertulis hanya kenanaran akan wajahmu
akupun tak lagi dapat berjalan karena semua jalan yang aku lalui hanya menggambarkan deritamu dan melumpuhkan nadiku



Yth. Aceh-Sumatera Utara
aku tak tahu lagi apa yang kutulis ini
karena semuanya takkan mampu mewakilkan
akhir perjalanan hidupmu yang penuh kepahitan dan sketsa puing-puing reruntuhan zaman di abad ini.


Banjarbaru, Desember 2004




PESONANYA TAK MAMPU KULUKISKAN



Malam seperti kemarin
menghantarkan kewajibannya untuk menemanimu
rembulan
seperti bulan lalu

Malam seperti kemarin
membungkam segenap rahasia bintang-bintang
dengn sinar samar
seumpama mengiblat rindu

Malam seperti kemarin
dengan seduhan kopi panas
yang tak pernah puas kunikmati


Samarinda 2007



PADA DIAM ADA KERINDUAN



dalam jalan
ada persimpangan yang membawamu
menagih rindu warna daun pada
sekumpulan bunga tanpa wewangian

dalam hidup
ada perdebatan yang harus diselesaikan
dengan gaya laut merah

MJ Hotel 2007







MELUKA

Ialah aku
Ialah yang terasing dari ibunya sendiri
menepis sunyi lagu-lagu memar
yang berdendang sumbang dari bilik kebuntuan petang

Ialah aku
di dengar udara yang tak sempat menghirup nafas
setelah melantunkan tembang sumbang


Samarinda 2007








KEANGKUHAN MALAM 1

ternyata deburan ombak
juga tak mampu memaksakan kemampuan
apalagi menghindari
kekecewaan yang dibuat oleh malam beserta keangkuhannya

sedikit rasa tak dapat
mengurangi pedihnya cambuk yang diberikan oleh
giliran zaman
yang kian hari kian mendesakku, menagihku


Banjarbaru 2003




KEANGKUHAN MALAM 2

Bersama malam duka
kulangsungkan perjalanan kelu dengan batas tiada akhir ini
dengan berita-berita penuh mimpi
yang sepertinya hanya perisai pelindung kejenuhan imanku
Duh kini,
kabarku telah meluka
menjiwai semua, memenuhi harapan angin buritan
yang tahunya Cuma berlari tak tahu diri
akan perasaan langit yang kecewa akan wajahnya
tertutup segudang penyesalan.

Di perbatasan siang kuhaturkan maaf
dengan peluh di leher kusaksikan betapa liciknya alam
bermain
menghancurkan tunas berdaun tunggal ini dengan belenggu
masa lalu.
Dan selalu saja menghitamkan jejak di kancah pertempuran
buatan kawan sejawat
dengan picisan yang membuat Tuhan turut tersedu
kusaksikan pembantaian perasaan pada tiang kerapuhan
melalui selubung alastu birabbikum


Banjarbaru 2003


EPIGRAM NASIB 1

riak aliran sungai itu menghempaskan aku ke batu-batu kasat
dari satu sudut ke sudut lain
juga menghalau dayungku dari kanan ke kiri


Banjarbaru 2003



EPIGRAM NASIB 2


aku kembali belajar
belajar berjalan melangkahi siluet jalan, rerumputan dan karang basa
sambil menghitung seluruh pohon yang pernah kulalui
lalu aku belajar
belajar mengucap huruf-huruf dari alif hingga hamzah
tapi tak satupun yang kumengerti


Banjarbaru 2003



EPILOG PAGI
(ketika Banjarbaru baru membuka hari)

Enam langkah sudah
Perisaimu berkecamuk
dengan keringat di badan
dan sekeping pigura berjuta mimpi


Banjarbaru Juli 2003



Pada diam ada kerinduan
( dalam sayup ada pertemuan )



dalam nuansa alit
menyeruakkan,
kisah airmata bunga hitam di peluru kitab katedral
bermahkota lilin sagita

dengan jalan yang kutapaki ini
berharap pula asaku untuk bisa menagih rindu
berkharisma penuh gelora
di gejolak semua keraguan yang pernah di permainkan oleh peristiwa

namun jangan rampas
ilalang tak tahu rupa di kisah pengkhianatan yang ditanam oleh bibir-bibir kelu berhasrat tinggi
sebelum berpelukan dengan takdirnya


Banjarbaru 15 Desember 2003

Tidak ada komentar:

TERIMA KASIH APRESIASI ANDA. SEMOGA ANDA AKAN KEMBALI MENGAPRESIASI PUISI-PUISI SAYA