Selasa, 02 September 2008

puisi 5

SAMBANG EL MEMBRANO

untuk di kenang

nenda mengejar kayuh sepeda di antara semaksemak musim

sekadar membayar janji yang terselip di kantong bajunya

tidak mungkin dilunasinya kepada yang lain

cukup membran sel

belukar di ladang kepalamu dik

telah menjadi batangbatang kering

tak sempat menjadi belantara

atau memang ajam di perigi sambil mengutuk diri

gagal bercumbu

kesadaran alpa

kopah menyeruak nadir

kuartal sepi telah dilalui dengan kecengengan yang sama

menampik laru jejaka yang menyimpan tuaktuak dahaga

tak mungkin pergi ke laut lepas kalau dik hanya merenda masa

bersidekap dengan bakulbakul waktu untuk menyempurnakan usia

adakah kau dengar keciprak

langkah bujana

mengejar adinda

jiwa kerontang tak berarti gagal memanen petang

sebab hidup adalah kepastian yang diburu limbang

bukan malam bukan siang nenda percaya pada gemintang

bila waktunya tiba hanya riuh yang menyisakan gerantang

tabir kembang

dikejar pelawang

takdir tuhan yang rompang

Teras Puitika, Ogost 2008

ISTIRAH SEPASANG MALAIKAT

: sisie dan kurakura

akan ada masanya kita dipimpin sepasang malaikat

membangun benteng hakikat

terbuat dari pualam raga

nusuk ke rahim bunda yang lupa berjaga

tak ada isyarat hanya berlalu sesaat

mulai dengan memancangkan semat

ke padang karamunting menuju hujurat

jengahjengah rumpun yang mulai kehilangan istiadat

terjerat

sebab memanggul janji yang harus terkhatamkan

metaphor jejak tak berjarak

istirah tua dan muda

hanya soal usia

Teras Puitika, September 2008

LANDMARK SUATU HARI


dari dago

aku mulai menapak tilas langkah mentari

cerah malu-malu

sedang tanda remaja belum aku temui hari ini

di wajahmu

sudah dua kali natal

kau menetap di pinggiran cisitu lama

namun ingatanku tak pernah karam

meski pelayaran hidup berbeda haluan

aku berjanji untuk menghadap barat agar lembayung senja dapat aku saksikan di beranda sepi

kau setia menunggu dewi kelam dengan teratak masa lalunya

kala ini kau gandeng tangan kananku

sedang tangan kiriku kau biarkan lepas di hela angin

di landmark

perasaanku lebur bersama bilur kelam

aku tak dapat menjawab tentang bukti itu

setahun lalu jemariku cedera

dan biola pemberianmu sudah aku hancurkan

kutenggelamkan ke muara batu

kau takkan puas

bila siang ini kita hanya membaca satu cerpen raudal tanjung banua

kau tak berubah

tualang

coba kau lihat kedua telapak tanganmu

saatnya membaca hari dengan kemudi waktu

bukannya mengumpat dan persalahkan aku

Bandung 2006

CIHAMPELAS WALK


The birth of I La Galigo

papakerma seorang begawan bhisma yang terkenal

kalau tak di gunung agung

mungkin palasari bisa menjamu keinginanmu itu

kita nikmati dulu kopi tubruk

layaknya di malioboro namun disini walikota yang baru

melarang menjual nasi kucing

sambil aku mendongeng I La Galigo buatmu

takdir Batara Guru yang baru turun dari Bottilangi, kerajaan langit

namun tiba-tiba saja muncullah

Rukelleng Mpoba, Ruma Makompong dari arah selatan

kau terperanjat

bukan Nyik Roro Kidul, Fra!

baju, sepatu, jeans, topi, tas, dan beltmu tak berwarna hijau

lihat tulisan gedung itu

tak ada bayang-bayang di utarakan?

bukannya matahari belum lingsir ke barat

percayalah di kota metropolitan ini

hanya kau temui cahaya-cahaya saja

seperti Peresola

kau terperanjat lagi

bukan We Nyilik Timo , Fra!

lepaskan dulu jaket kejawenmu itu

sebab Prabu Siliwangi kini melindungimu dengan cahaya-cahaya lepas

mengudara

di pinggiran situs cihampelas walk

Bandung 2006



MONAS DARI KEJAUHAN ST. GAMBIR

kau disembunyikan kemacetan ibukota pagi ini

sebuah penantian akan usai

bila berpeluk dengan jodohnya

sebagai bukti peradaban manusia di jalannya

empat puluh tahun yang lalu

kakekku pernah juga berpijak tepat di bawah sinar matahari

merebut kembali jati diri negara dari nasakom

nenekmu hanya menunggu sambil mendadar telur mata sapi kesukaannya

hingga ia dapati jaket lusuh dan jejak yang takkan pernah kembali

aku tak berhasil mencari-cari berkas dirinya di monumen itu

aku menemuimu dikebuntuan jalan yang tak pernah bersilang

andainya saja kau datang dari toll cikampek

mungkin kau bisa melihat kegagahan saksi sejarah sebagai lambang

perjuangan yang kadang kau sangsikan

bukan sekadar dagelan setiap bulan di taman ismail marzuki oleh teater koma

selebihnya hanya kritik di kelaluan waktu

tak tuntas dibahas

sudahi sajalah pengertian peta lalu lintas di pikiranmu

tak ada kesamaan antara peron dan knalpot kendaraan

meski sama-sama berbakti pada empunya

buat apa mempertahankan diri kalau kau tak tahu untuk apa menjemurkan badan di pagi hari

seorang tentara menghampiri masinis

untuk segera memberangkatkan kereta ke parahiyangan

ada janji yang tidak bisa dikhianati sebagai penyelamat bangsa

suatu ketika kau dan aku

ditemukan di jalan lengang untuk saling menatap

saksi masa lalu

bermukim di bangunan kosong itu

: awal kejayaan yang berakar hingga lusa

tujuh belas agustus

Jakarta, Desember 2006

TERIMA KASIH APRESIASI ANDA. SEMOGA ANDA AKAN KEMBALI MENGAPRESIASI PUISI-PUISI SAYA