Sabtu, 30 Agustus 2008

puisi 4

Narasi Kebugilan Sejati II
(Buat: Kekasihku yang kehilangan keperawanannya)

melalui langkah-langkah abstrak pada bebatuan
yang membisu
kembali engkau kirimkan kabar hari esok
dengan kesadaran berlimpah dan aura
ringkih pembagian narasiku

yang katamu: “airmataku telah dirampok”
“kemaluanku telah dijarah”
“kebebasanku telah disahaya”

aku meyakininya sebagai perpaduan antara pilu dan sepi
purna berbentuk sembilu
penuh sayatan

engkau juga tuliskan teriakan yang dibungkus dalam kartu kematian
namun aku bisa apa jika pesta darah
hanya dihadiri tiga helai kafan dan sebidang tanah?



(In Memorian 23 Januari 2005: 23.45 WITA)



REQUIEM
(Postcard buat lelaki pasca tsunami)


/1/
telah ditemukan duka-duka rima berserakan pada kumpulan
kata, sajak hingga antologi di sepanjang diam
pun telah disaksikan segala desau tersendat bunyinya
melengking, menyematkan gelengan ilalang yang gagal mencumbu rembulan

/2/
tak perlu mengupas luka dalam kepenatan buluh makna
karena selepas hujan pasti kamu temukan pelangi
bukankah menatap hari lebih mudah ketimbang berlari?

/3/
di penghujung hidup
kita belum pernah bersama mengitung angka-angka pemberat
karena catut yang kita pakai hanya sekadar jemuran asmara di tiang petaka
adakah saat yang bisa kita tebus?

/4/
malampun berjalan dengan meteor berjuta tahun
mengikuti larik kekaguman
pada peraduan katub pesona yang ditebarkan kiblat rindu-rindu

/5/
kalimat bukan sekadar madah puisi
karena di dalamnya juga terdapat kesaksian duka-duka rima yang terangkum dalam antologi diam
gerimis lelaki menandakan ketidakkuasaannya berpeluk dengan takdir



Banjarbaru, 26 Desember 2005



SEMPANA JIWA BAB TERAKHIR


Aku sudah susah membuktikan betapa ternilainya senandung sempana jiwa di bab terakhirku. Ya. Itulah adanya.
Aku tahu tapi kejanggalan akan cermin yang kulihat kemarin tidak menimbulkan bayangan, aku hanya melihat sinar yang lelambaiannya tak nampak. Pekat pula. Sementara aku baru mempersiapkan diri untuk juga ikut pada peperangan yang salah satu pemrakasa serta pengrobohnya, aku.
Sementara aku berkecamuk dalam diri, sekitar baik kawanan menuding sebagai insan yang naïf. Aku betul-betul aku. Hingga aku kehilangan bentuk, remuk di situ juga. Redamnya utopia di mukaku adalah berkat kesetiaanku yang selalu menyerukan senandung jiwa di bab terakhir.
Sungguh aku malu. Maka dengan ini semua aku akan buktikan, aku akan menjauhi apa-apa yang membikin hubungan kita merenggang. Sekali lagi. Karena itulah adanya. Aku begitu memilukan, sebab jiwa yang pernah kujalankan pernah memaksakan ribuan hasrat untuk menikam dan ke langkah itu lagi. Aku pura-pura lupa dan tidak mengetahuinya bahwa suatu saat akan ada balasan dari seluruh torehan yang dieja pada sempana-sempana dari jiwa yang tak berkeseduhan.


Banjarbaru, 12 Juni 2005



MENEPIS KEMBALI BIANGLALA HARI SABTU


Hari sabtu kemarin aku menjenguk langit
kabarnya ia sudah tidak tahan lagi, menepis jiwa
katanya dua hari lagi pelangi akan turut serta
dalam upacara malam.

Hari jumat kemarin aku menjenguk Arsy
kelihatannya tempat itu sudah usang, tak layak huni
di atasnya ada tujuh lubang yang bisa di tembus hujan dan
di bawahnya ada tujuh ubin yang jika di injak akan
menjatuhkan raga ke jurangnya.

Hari minggu kemarin aku melihat ayah membuat jembatan,
aku diam
bukankah menyambung jalan kehidupan itu cukup sulit
ketimbang tafakur di senandung senja?

Hari jumat kemarin aku duduk di pelatar gereja,
membuka catatan yang pernah aku saksikan bersama
kebisuan akal
pembatas mimpi di pelupuk basah airmata kembang.

Hari sabtu kemarin aku menagih rindu yang pernah dijanjikan
malam, katanya hakikat luka adalah bara
dia juga kembali mengulang janji untuk menikam melodi
hari dan diganti dengan tembang rama-rama
kutengok awan, seperti biasa berlarian
menyombongkan keangkuhannya. Seperti.


Banjarmasin, 22 Desember 2005



Yth. Aceh-Sumatera Utara

Yth. Aceh-Sumetera Utara
yang dihempas gelombang airmata
dari pantai dan dalamnya laut airmata

Yth. Aceh-Sumatera Utara
yang kehilangan penglihatannya untuk mentari pagi
karena yang dipandangnya hanya kekaburan dari lirih pembacaan ayat-ayat kematian

Yth. Aceh-Sumatera Utara
kusaksikan lautan darah yang bermuara pada kepedihan tiada batas
menghempas tubuhmu ke bawah timbunan rumah-rumah kubangan oase penindih azalmu
olehmulah amukan alam
merangkum gelora hasrat perut bumi yang membuncah
menahan segenap amarah penghancuran
hingga menikam segenap cerita suka cita
torehan pena sejarah dunia di tahun 2004

Yth. Aceh-Sumatera Utara
lagi, kusaksikan gemuruh ombak yang menghantam
kekalutan dan kengiluan di sepanjang perjalanan
menuju detik-detik sakaratul maut
oleh langkah-langkah yang tak kuasa
berlindung menghembuskan satu-satu nafas penghabisan

Yth. Aceh-Sumatera Utara
lagi-lagi, kusaksikan kekuasaan Tuhan Yang Maha Semau-maunya
melantakkan bumimu hingga porak-poranda
hingga banjir airmata, airmata darah meluap-luap di seluruh sudut-sudut perkampungan
yang juga ikut hanyut oleh geliat air kematian

Yth. Aceh-Sumatera Utara
dengan ini, aku sampaikan bahwa
aku tak lagi melihat kebersamaan di waktu itu
ketika menutup hari dengan kepekatan
juga kemanisan dewi kelam
karena ia telah juga luluh bersama tangisanmu yang bercampur nanah dan aroma darah

Wahai Yth. Aceh-Sumatera Utara
aku tak lagi dapat menghitung angka-angka karena hitunganku hanya terarah pada korban-korban luka di tanahmu yang tak berkesudahan
akupun tak lagi dapat membaca karena semua kalimat
yang tertulis hanya kenanaran akan wajahmu
akupun tak lagi dapat berjalan karena semua jalan yang aku lalui hanya menggambarkan deritamu dan melumpuhkan nadiku



Yth. Aceh-Sumatera Utara
aku tak tahu lagi apa yang kutulis ini
karena semuanya takkan mampu mewakilkan
akhir perjalanan hidupmu yang penuh kepahitan dan sketsa puing-puing reruntuhan zaman di abad ini.


Banjarbaru, Desember 2004




PESONANYA TAK MAMPU KULUKISKAN



Malam seperti kemarin
menghantarkan kewajibannya untuk menemanimu
rembulan
seperti bulan lalu

Malam seperti kemarin
membungkam segenap rahasia bintang-bintang
dengn sinar samar
seumpama mengiblat rindu

Malam seperti kemarin
dengan seduhan kopi panas
yang tak pernah puas kunikmati


Samarinda 2007



PADA DIAM ADA KERINDUAN



dalam jalan
ada persimpangan yang membawamu
menagih rindu warna daun pada
sekumpulan bunga tanpa wewangian

dalam hidup
ada perdebatan yang harus diselesaikan
dengan gaya laut merah

MJ Hotel 2007







MELUKA

Ialah aku
Ialah yang terasing dari ibunya sendiri
menepis sunyi lagu-lagu memar
yang berdendang sumbang dari bilik kebuntuan petang

Ialah aku
di dengar udara yang tak sempat menghirup nafas
setelah melantunkan tembang sumbang


Samarinda 2007








KEANGKUHAN MALAM 1

ternyata deburan ombak
juga tak mampu memaksakan kemampuan
apalagi menghindari
kekecewaan yang dibuat oleh malam beserta keangkuhannya

sedikit rasa tak dapat
mengurangi pedihnya cambuk yang diberikan oleh
giliran zaman
yang kian hari kian mendesakku, menagihku


Banjarbaru 2003




KEANGKUHAN MALAM 2

Bersama malam duka
kulangsungkan perjalanan kelu dengan batas tiada akhir ini
dengan berita-berita penuh mimpi
yang sepertinya hanya perisai pelindung kejenuhan imanku
Duh kini,
kabarku telah meluka
menjiwai semua, memenuhi harapan angin buritan
yang tahunya Cuma berlari tak tahu diri
akan perasaan langit yang kecewa akan wajahnya
tertutup segudang penyesalan.

Di perbatasan siang kuhaturkan maaf
dengan peluh di leher kusaksikan betapa liciknya alam
bermain
menghancurkan tunas berdaun tunggal ini dengan belenggu
masa lalu.
Dan selalu saja menghitamkan jejak di kancah pertempuran
buatan kawan sejawat
dengan picisan yang membuat Tuhan turut tersedu
kusaksikan pembantaian perasaan pada tiang kerapuhan
melalui selubung alastu birabbikum


Banjarbaru 2003


EPIGRAM NASIB 1

riak aliran sungai itu menghempaskan aku ke batu-batu kasat
dari satu sudut ke sudut lain
juga menghalau dayungku dari kanan ke kiri


Banjarbaru 2003



EPIGRAM NASIB 2


aku kembali belajar
belajar berjalan melangkahi siluet jalan, rerumputan dan karang basa
sambil menghitung seluruh pohon yang pernah kulalui
lalu aku belajar
belajar mengucap huruf-huruf dari alif hingga hamzah
tapi tak satupun yang kumengerti


Banjarbaru 2003



EPILOG PAGI
(ketika Banjarbaru baru membuka hari)

Enam langkah sudah
Perisaimu berkecamuk
dengan keringat di badan
dan sekeping pigura berjuta mimpi


Banjarbaru Juli 2003



Pada diam ada kerinduan
( dalam sayup ada pertemuan )



dalam nuansa alit
menyeruakkan,
kisah airmata bunga hitam di peluru kitab katedral
bermahkota lilin sagita

dengan jalan yang kutapaki ini
berharap pula asaku untuk bisa menagih rindu
berkharisma penuh gelora
di gejolak semua keraguan yang pernah di permainkan oleh peristiwa

namun jangan rampas
ilalang tak tahu rupa di kisah pengkhianatan yang ditanam oleh bibir-bibir kelu berhasrat tinggi
sebelum berpelukan dengan takdirnya


Banjarbaru 15 Desember 2003

Sabtu, 23 Agustus 2008

puisi 3

PENGUMUMAN


pengumuman diumumkan bahwa pengumuman ini diumumkan untuk umum dan bilamana terjadi perkara perkara yang masih diumumkan hendaklah bila perkara tersebut diumumkan dari perkara yang tersebut di atas, demikian bunyi pengumuman:
apabila cerita ini terlihat mengawali atau meniru maka selebihnya dari yang telah disebutkan pada permulaan bahwa cerita yang akan ditampilkan hanya rekayasa atau tidak selebihnya fiktif belaka

nama-nama tokoh dan pemeran tidak melebihi karakter sebenarnya namun bila terjadi perkara kemiripan maka tanggung jawab kesamaan perkara tersebut kami haturkan bahwa tidak ada hubungan sedikitpun selain tanggung jawab yang mempunyai diri

perkara yang diumumkan tersebut sudah didewankan dalam beberapa hal:

menimbang, memperhatikan, menetapkan dan memutuskan daripada pengumuman yang kami umumkan kepada pihak-pihak umum akan segera menampilkan sebuah pertunjukan yang telah kita ketahui sebelumnya adalah persial inti dari seni pengolahan jiwa dalam rangka pemahaman diri

nah
pihak umum sekalian marilah bersama-sama kita menonton cerminan jiwa lewat kaca diri sebelum kesaksian umum bersaksi akan ketidakberdayaan diri dalam lingkup keterbatasan yang kita maklumi sebagai khalayak umum



Kuala Kapuas, Ogost 2006-2008


NUBUAT KECIL


Dalam kesendirian yang kemarin aku lakukan, aku kembali teringat akan sebuah masa lalu yang cukup membuatku terkekang. Aku seperti pelita yang hidup tanpa sumbu.
Semuanya hanya unsur ketidaksengajaan dan pula sedikit keberuntungan, segala apa yang kupunya hanya bayangan masa silam yang datang tanpa permisi ataupun sebuah perenungan yang ada dalam penantian sejati. Dalam keheningan yang dibuat kemarin oleh alam, maka aku kembali mengingat kubangan masa itu. Semua manusia dilahirkan atas dasar kemurnian. Namun, setidaknya apabila kita menemui kejanggalan masa itu maka kita akan kembali terpikir bahwa kejanggalan tersebut dihadirkan tidak dengan atas dasar dosa atau tragedi masa lalu melainkan hasrat yang berhenti di simpang waktu.
Aku lahir dan menyebut diriku sebagai bunga yang sempat ada di keheningan malam namun sempat mekar hanya saja ketika berbunga langsung saja sang raja malam merayuku dan melena.
Kata bunga yang ada disampingku, cita apakah kamu pernah berpikir bahwa hakikat bara adalah kenangan dan kejanggalan malam adalah kesentosaan. Sedikit demi sedikit aku melebur menantikan kehadiran dewi malam namun, apakah sebuah etos dapat dihadirkan ke atas langit, sedangkan publikasi masa telah melebur di unsur piramida kepahitan.
Aku adalah bagian dari masa lalu yang memang sempat menjalani kehidupan dengan fatamorgana dan keseriusan hari yang juga berniat merubah hakikat senja. Aku dan bara adalah kesatuan yang tidak dapat diperbedakan karena kami sama-sama membakar kidungan. Kami adalah zat yang terlahir dalam rangka menghibur dan memplipur asa di temaram kelam.
Aku pernah terkapar ketika mencoba menjamah makna kegagalan di seliput keperawananku. Aku sangat terbahak ketika menyadari katidakbedaan antara sketsa api dan gaya laut merah. Penuh hasrat. Membakar. Gelora yang kemarin juga menjemu kini telah bersemai, membumbung asa di kidung penantian. Bih, dukaku telah menjiwai semuanya.
Namun sayembara kesedihan telah membahana di kesadaranku yang lain. Aku lahir atas nama nafsu. Aku dilahirkan atas dasar kegelisahan. Begitu juga dengan kesumat yang kian hari kian merajalela. Aku adalah kesempurnaan yang tidak dapat tumbuh di cawan ilalang temaram tapi dapat menghiasi kesinambungan pereda ilusi. Selamat datang kebanggaan, asa yang kemarin sempat luput, kini mencoba mengijinkan kau mengeluar dari semua tapak primadona.
Kesempurnaanku adalah ragam maya yang menusuk ilusi. Adalah juga keterpaksaan keliru di bagian malam yang selalu saja menghantui jati diriku. Aku sempat membawa semua yang ada dalam diriku dengan beberapa hitungan yang kubuat sendiri, yakni kata-kata peringatan.
Aku adalah bagian maya yang tidak dapat dikatakan sebagai kesentosaan karena apa yang kupunya adalah kesenduan merta. Hak asasi yang dikatakan orang sebagai unsur perikehidupan tapi yang kujalani hanyalah tapakan hidup yang pada akhirnya tiada berasa.
Suatu hari, aku mendapatkan sebuah tugas. Aku harus mendekati sebatang pohon yang dibatangnya dipenuhi lumut kecoklatan dan duri-duri. Aku diamanahi untuk memeluk pohon itu karena dengan begitu aku bisa membuang semua kesialan yang kesekian ini menimpaku. Lalu kupeluklah pohon tersebut, lima bulan kemudian. Aku kembali meniduri seorang belia, entah kebinatangan apa yang merasuk ke ragam intusiku itu. Dan seminggu setelahnya dia hamil. Lalu apakah aku mesti kembali memeluk pohon yang tempo lalu kudatangi?
Entahlah. Hari ini sampai disini dulu, besok akan kulanjutkan bila azal belum menemukan diriku tentunya.


dalam keihlasan di RSUD Ulin Banjarmasin, 2008


RIAK



“aku hanya takut
pikiranku tenggelam
oleh airmataku”

larut
tercerabut
ke tepi laut

“aku hanya takut alam
mengajakku berkawan
dan berjanji bersama
untuk tidak saling terpisah”

sampai mati kita bercerai


Banjarbaru, Juli 2008


SAJAK DIRI


kesaksiankulah
penulis gagu yang sok tahu

sebelum matahari terbit di timur aku sempat bermimpi bertemu arasy
belia dan penuh hasrat
aku bilang kalau aku ingin semuanya tetap di laut
aku ingin menyaksikan cecanda gurau yang dizikiri burung lewat kicaunya
terdengar lebih syahdu daripada musik yang kau zikiri lewat gitar

sebenarnya aku merasa asing di tanah kelahiranku sendiri
aku tampak ragu berjalan di koridor waktu
dan juga
aku kelihatan bodoh menyaksikan semua temanku sebaya bisa menghitung angka-angka penambahan dan pengurangan
sedangkan aku?
hanya tertunduk

aku bisa apa
jika keletihan yang aku rasa tidak mampu aku bendung

semua berlalu begitu-begitu saja
semua yang ada sebenarnya tidak pernah ada
karena ini hanya mimpi Tuhan
Maha semau-mauNya

sedangkan kita berjalan dengan kodrat masing-masing
begitu juga aku
aku dikodratkan sebagai wanita dengan segenap cara membelenggu diri sendiri
aku seperti belatu di siang hari, mengerikan

satu pertanyaan yang kubingungkan

apa mau Tuhan?
adakah yang mampu menjabarkan mengapa darah yang mengeluar berwarna merah?
atau mengapa setiap nyeri oleh luka membuat kita menangis?
apa yang menyebabkan airmata menetes?
Maka
lengkaplah sudah segala ketidaktahuan
kuasa Tuhan yang berkehendak dalam memilih jalan

aku menjadikan diri sebagai salah satu penyelaras di setiap ambisiNya
akh…
Tuhan kembali menghunuskan rasaNya ke dalam jiwaku

aku tak mau lagi menyenandungkan irama memar
irama luka pada nada yang kunyanyikan
aku cukup nelangsa bila ku berpikir tentang hakikat luka yang kubuat
tentang sebuah rasa yang tak bisa aku leburkan ke setiap sel-sel di nadiku

lagi-lagi aku hanya bisa bungkam
aku tidak punya senjata ampuh untuk menaklukan segala rasa yang membelenggu di diriku itu
semua rasa yang tak bisa kututupi
begitu sendu
melantunkan dendang sumbang

Kutai Kertanegara, Juli 2007

puisi 2

Dalam Hatiku Ada Ruang


selalu ada tempat bagimu
berteduh dari hujan
ataupun menunggu pagi

juga seruang dalam hati
mematrikan diri dari segala dedah
tak berhulu

yah,
aku selalu merapikan tempatmu
menunggumu untuk bermalam
membahas cerita pertemuan kau dan aku atau menghitung bintang-bintang
sampai kita berdua lupa
hari ini kamis

Tawangmangu, Akhir 2007





Malam Perjaka


semuanya terjadi
engkau berkelana menyusuri seluruh rasa
keubun-ubunmu
luruh peluh
penuh keingintahuan

saat itu
kau terhanyut oleh guguran daun
ketika lembarannya jatuh mencium tanah
selebihnya engkau terkwatrin

hingga kau lepaskan satu demi satu keluguanmu
dari segala
bukti ketiadaanmu

tak ada gerakanmu yang membuatku yakin
engkau benar-benar belum tahu
sekadar buncah yang menjalar ke samudera aortamu
itu saja,

Donggala 2007



Suatu Ketika



ada katak termangu
matanya menghadap keleluasaan malam
entah dia lihat bulan seperempat itu
atau menanti hujan tiba-tiba

lalu dia melompat
ke arahku
aih,
ditengadahkannya lenggok kepalanya
sesekali mengajakku bergurau
dalam bahasa yang tak kupahami
entah apa maksudnya

aku ikutikutan termangu
mencoba mengerti polahnya dengan senandung yang akrab kudengar
kala petir berkoar,
mengabarkan untuk mencari tempat teduh

hanya saja
dia terus mendekatiku
melompat
dan terus bersuara; ‘bukan itu maksudku,’


Surabaya, 24 Agustus 2007

Jumat, 22 Agustus 2008

puisi 1

HUJAN BULAN AGUSTUS

aku harus buru-buru

ke teras belakang rumah

mengangkat semua jemuran yang terlanjur aku asingkan

untuk memamah hari yang tadi pagi nampak ceria

murung tiba-tiba

mungkin prakiraan cuaca tidak dapat lagi dipercaya

padahal angin pantai utara bertiup ke tenggara

mungkin juga kemarau sudah bosan mendengar keluhan manusia

(ketika hujan mengharap panas dan ketika kemarau mengharap hujan buatan)

atau mungkin iklim mengajak hari untuk bercanda

mungkin

hujan bulan agustus

menandai kegelisahan yang tak kuasa keluar dari himpitan dan kekakuan waktu

membasahi para pejalan kaki di emper kota

membasahi bangunan real estate

membasahi kebun nenek imah

membasahi balong ikan di pemancingan

membasahi tubuh kekasihku yang gagal memperoleh pekerjaan

membasahi panggung van der vijl kami

hujan bulan agustus

merenyuhkan kenangan masa lalu yang kami lalui di padang karamunting

setiap kemarau di bulan agustus

di tahun-tahun lalu

dan menjejerkan papuyu yang kami tangkap

ke atap rumah

mudah-mudahan besok bisa kau nikmati sayur bayam dan ikan kering

hasil usaha keras di musim kemarau

hujan bulan agustus

membasahi ingatanku

Banjarbaru, Ogost 2008

KEPADA CAPUNG DEWANGGA

pemberi nama

jumat itu adalah hari ulang tahunku

tak ada coklat dan sepatu baru

hanya beberapa batang strawberry yang diselipkan mbak heni ke saku blazerku

setelah pulang dari kebun bang indro di kalisoro petang tadi,

disaksikan sebatang lilin dengan cahaya redup

juga riuh amin dari kawan-kawan aktivis

(calon kader bangsa, sahut pak tri)

lereng tawangmangu

hari itu dipenuhi sesak

sajak-sajak

mulai dari nias, rote, banjarmasin, tanjung karang, bandung, payakumbuh, lhoksumawe, jogja, banten, hingga sentani

mengiringi batang usia

melepas remaja

jumat itu adalah hari ulang tahunku

secarik harapan dari jiwa seorang demonstran mengalir lewat lamat-lamat orasinya

dia tuliskan ke dalam puisi

terbanglah pipit kecil langit masih biru

Surakarta, Nopember 2007

SOLO BALAPAN

kepada ayahanda raditya putra

kita terpisah di stasiun ini

pemberhentian sejenak sebelum kita pastikan

melanjutkan perjalanan

aku tahu

kamu pulang ke kebumen

menemui sanak famili, astri dan adik kandungmu yang baru belajar menghitung angka

dan sehampar ladang yang telah memberimu keyakinan bahwa hidup adalah membalik tanah

serta kebun yang mengajarimu bagaimana bekerja mengolah

dan memanen umbi-umbian

dengan kesemangatan

sejenak kuberpikir di benak,

apa saja yang telah aku gali di ladang usiaku

apakah juga membalik tanah sepertimu

atau hanya terpatri

memasung diri karena tak mampu mencangkul tanah tandus penuh bebatuan

ya…

aku tidak seperti yang kau kira

karena aku dibesarkan di bantaran sungai martapura yang mengajariku berlayar ke muara-muara mengenali barito, tabunio, dan jenis ikan tawar yang dijual pamanku setiap pasar arba

stasiun hidup kita tak sama

perjalanan berikutnya pun tentu tak sepemahaman

jiwaku dengan gaya laut merah

jiwamu dengan gunung merapi

(namun sama-sama membara)

St. Solo Balapan, 2007

AGIA AN’AMTA ZULFA: ANANDA YANG BERHASIL TERBANG KE BULAN

(doa suku asli Kalimantan: dayak, kutai dan banjar) Amin!

nanda hanya dibesarkan dari keluarga biasa

tak ada kelebihan yang bisa nanda pamerkan sebelumnya

karena bunda telah jatuh cinta pada kemiskinan ayahmu dan kesederhanaannya dalam memahami dunia

: hanya sementara

bunda pernah ajarkan bahwa orang pertama yang pergi ke bulan adalah astronot neil amstrong

lalu apollo sebelas diluncurkan

membawa berita bahwa manusia bisa menembus angkasa

dan kita percaya ada banyak lagi orang-orang yang akan terbang ke bulan

: menembus keterasingan dan kebebasan

ayah tak pernah menyangka

kalau osamah bin laden mampu menggemparkan dunia melalui teror bom yang juga pernah terjadi di penghujung tahun empat puluh tiga ketika sekutu menjatuhkan bom di pelabuhan pearl hour boar

atau meledaknya senjata massal pada perang dunia kedua di korea

ayah hanya mampu menggelengkan kepalanya

: tak kuasa berkata

lalu pada abad ke dua puluh

kami membesarkan agia an’amta zulfa sebagai anak seorang serdadu perang

dengan keterbatasan yang kami punya

bunda ajarkan memintal kata-kata untuk dijadikan senjata dalam berbicara

juga beberapa cara bersikap ala banjar kemelayu-layuan

: etika dan budaya

ayah ajarkan cara-cara bertahan dari ancaman musuh yang menjajah bumi kelahiran

serta mengusir orang-orang asing yang menjual kekayaan batu bara, minyak bumi, dan kayu-kayu gelondongan ke luar negeri

ayah

bunda

tak pernah menyangka kalau nanda juga berhasil menyamai popularitas astronot neil

: terbang ke bulan

karena tak mengira nanda Agia An’amta Zulfa

mampu mengibarkan bendera BORNEO MERDEKA di ranah Kalimantan!!

Bumi Lambung Mangkurat, 2008

LAWANG SEWU

padahal aku sudah tiga kali ke kota ini

tetapi hanya kali ini kesempatan memberi peluang untuk memasuki

area beribu pintu yang di jaga binatang-binatang masa lalu

: anjing dan kuda

dulu sekali para leluhur

membangun jiwa-jiwa merdeka lewat pintu jendela yang mengarah ke utara, selatan, timur dan barat untuk dijadikan asas dalam berkehidupan

: menghirup udara bebas

disinilah para tetua

mulai menata dan meramu tujuan pada era kolonial

sebuah gerbang masuknya informasi dari segala penjuru nusantara

: tak terkecuali

bangunan yang kokoh

menandai kekuatan yang berakar dan menradisi

arti sebuah perjuangan sebagai lalu lintas komunikasi

: kala itu

aku hanya terkagum-kagum

seperti royal yang tak kalah ramainya dari malioboro

di sini ada yang tak kalah hebatnya dari jembatan barito karena mampu mencap

: semarang pesona asia

Semarang, Januari 2008

TERIMA KASIH APRESIASI ANDA. SEMOGA ANDA AKAN KEMBALI MENGAPRESIASI PUISI-PUISI SAYA